KOMPAS.com- Melalui riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2015 mengenai bahasan “Regenerasi Petani” disimpulkan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi krisis regenerasi petani.
Mata pencaharian tersebut, tak lagi seksi di mata anak muda. Sebanyak 54 persen anak petani yang juga menjadi responden mau meneruskan apa yang dikerjakan orangtuanya. Sedangkan 46 persen sisanya tak terpikirkan, atau bahkan menolak dengan tegas.
Kondisi petani yang tergerus zaman menjadi ironis kala dihadapkan dengan kebutuhan pangan untuk kehidupan yang akan terus ada.
Meskipun saat ini, data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018 mendapati jumlah pekerja di sektor pertanian masih tergolong besar, yakni tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari total penduduk bekerja.
Akan tetapi, bukan tidak mungkin pada tahun-tahun mendatang jumlahnya menurun signifikan sehingga menimbulkan kerentanan.
Dalam Forum Sahabat Keluarga dari Kemendikbud yang pernah diwartakan Kompas.com, Minggu (20/1/2019), disebutkan di luar anggapan profesi yang tidak bergengsi, dua dari alasan hal itu terjadi berhubungan dengan persoalan finansial.
Bertani dianggap tidak memberikan jaminan finansial karena generasi muda melihat sebagian besar petani memiliki pendapatan yang rendah, rumah yang dimiliki sangat sederhana, dan gaya hidup seadanya.
Petani butuh solusi
Untuk keluar dari masalah itu, masyarakatnya sendiri harus sadar akan kebutuhan dan potensi.
Patut dicermati, Indonesia sebagai negara agraris seharusnya dapat menjadi peluang menjanjikan bagi petani kalau dilakukan dengan tepat. Apalagi, bidang pertanian merupakan salah satu sektor andalan penopang roda ekonomi nasional.
Sayangnya, ada beberapa permasalahan besar dan kendala bagi petani yang saat ini belum dapat terselesaikan.Seharusnya ini bisa ditanggulangi untuk membaca masa depan petani di Indonesia.
Jangankan mengupayakan pengembangan usaha agar kehidupannya sejahtera mereka, untuk mendapatkan akses sarana produksi usaha yang dijalani seperti benih, pupuk, dan pestisida pun masih kesulitan. Kebanyakan dari mereka tak punya cukup modal.
Untuk menjangkau pinjaman dari pihak ketiga seperti bank konvensional pun sulit, terutama bagi mereka yang kebanyakan berada di pelosok Indonesia.
Biasanya, institusi keuangan seperti bank mewajibkan banyak syarat, termasuk bukti pendapatan rutin yang kemudian membuat petani mundur.
Kalau pun ada, biasanya mereka mencari solusi lain yakni lewat bank keliling atau rentenir. Cara ini pada dasarnya tidak menjadi jalan keluar yang tepat karena ujung-ujungnya malah jadi beban yang tak kunjung selesai.
Agar profesi sebagai petani jadi bergengsi, hal-hal tadi harus segera diselesaikan. Akan tetapi, mengharapkan kesadaran masyarakat saja tidak cukup.
Untuk permasalahan vital seperti finansial, penanggulangannya juga membutuhkan banyak pihak untuk berperan serta.
Selain pemerintah, lembaga keuangan juga perlu ikut turun tangan.
Saat ini, kalaupun para petani tak memiliki akses pada lembaga keuangan, setidaknya masih ada perusahaan financial technology yang dapat dijadikan jalan keluar.
PT Layanan Keuangan Berbagi (DanaRupiah), misalnya, akan meluncurkan program berbasis Productive Loan yang bertujuan membantu inklusi keuangan pada bidang pertanian. Rencananya peluncuran akan dilakukan pada akhir April 2019.
Peluncuran program Productive Loan ini juga menggandeng salah satu perusahaan distributor pupuk di Indonesia.
Adapun keunggulan dari program Productive Loan ini adalah sistem peer to peer (P2P) Lending yang memiliki bunga rendah sehingga memudahkan para petani dalam memperoleh akses pinjaman dengan cara yang praktis.
“Semoga para petani dapat (ikut) memanfaatkan kemajuan teknologi untuk (apa yang mereka kerjakan),” ujar CEO DanaRupiah Andy Zhang.
Ada dua jenis layanan yang akan petani dapatkan melalui program Productive Loan, yaitu petani akan mendapatkan kebutuhan sarana produksi dari perusahaan distributor pupuk dan mereka juga akan menerima danatunai.
Productive Loan memberikan jaminan kemudahan sumber dana dan sarana produksi yang efektif dan efisien bagi petani.
“Melalui pinjaman produktif (seperti ini), kami harap DanaRupiah dapat mendukung usaha mereka,” tambah Andy.
Dengan begitu, petani dapat mengembangkan usahanya tanpa terhalang banyak persyaratan. Hal terpenting lainnya, lembaga ini terdaftar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Membaca Masa Depan Petani di Indonesia”.
Penulis : Sri Noviyanti
Editor : Sri Noviyanti